Half Empty Glass



Jarum pendek jam itu sudah hampir menyentuh angka delapan malam. Gw masih asik berkutat dengan notebook butut gw di sebuah resto kecil di sekitaran kantor.

Well, dengan kondisi jalanan yang macet gini, memang akan lebih baik jika dilewatkan untuk melakukan hal yang produktif kan?

Seperti: menulis, misalnya.

Hehehe, entah lah, itu masuk kategori produktif atau ngga, tapi setidaknya, blog gw jadi makin penuh aja ama tulisan-tulisan ga jelas seperti ini.

Dan sebuah tepukan pelan di bahu gw membuyarkan konsentrasi gw akan tulisan yang sedang  gw buat.

Duh, siapa sih?

"Hai Ji," sapa wanita itu ramah.

Rasanya kenal deh ama suara itu.

"Hey, Melga!" Surprise juga ketemu wanita satu ini. Karena, dia kan udah ga sekota lagi sama gw, Dan sudah genap sewindu ga ngobrol ama dia.

Btw, tau kan sewindu?

Ya ya ya, itu delapan tahun ya. Dan itu jelas-jelas bukan makanan (just in case lo mikirnya itu nama udang).

"Apa kabar, Ji?" sapa wanita yang masih terlihat amat cantik itu.

"Baik, Mel. Kamu?"

Duh, gw masih ga ilang-ilang aja surprisenya. Masih kagok aja jadinya. Hahaha.

Dia tersenyum.

Ok then, itu gw asumsikan dia baik-baik aja.

"Sini Mel, duduk bareng gw," kata gw sambil merapikan meja yang udah acak-adul ga karuan karena sudah diterpa badai Aji. Hehehe.

Melga duduk di hadapan gw. Dia tersenyum manis, as usual.

Gw jadi nyadar. Hey, kenapa dia jadi pendiam seperti ini. Pasti ada sesuatu yang salah.

 "Something wrong, Mel?"

Dia tersenyum lagi. Sweet, tapi rasanya kosong banget.

Duh, kalo sama orang yang saban ditanya jawabannya cuma senyum-senyum aja gini, jadi susah gw. Jadi serba rikuh.

Dan gw jadi ikutan diem, dan mulai ketik-ketik lagi di keyboard notebook, meski ga tau apa yang mau gw tulis juga. Hehehe.


"Kamu masih ingat tentang lelaki itu, Ji?"

Heh, lelaki? Mana mungkin gw inget-ingetin seseorang. Apalagi itu laki-laki. Hihihi.

"Yang mana, Mel?"

Melga menghela nafas. "Itu, percakapan kita delapan tahun lalu."

Astaga! Percakapan kemarin aja gw belum tentu inget, apalagi yang udah ribuan hari ke belakang.

"Delapan tahun lalu.. humm..," gw coba buat nginget-nginget.

Ah, ga mungkin lah gw bisa inget ini.

"Raul," ucapnya lagi.

Astaga! Gw baru nyadar sekarang.

"Oh My Goodness, The empty glass, Mel? Right?"

Dia mengangguk.

"Ada apa dengan dia?"

"Gelas itu tak pernah bisa penuh."

"Hm?"

"Selama ini, I thought, I could fill it up. But then, I was wrong."

Gw cuma diam. Bener-bener ga ngerti harus ngomong apa.

"I love him so badly. I thought I could be the one that he always wants to be with."

Gw cuma tersenyum.

Ada pelajaran berharga yang gw dapetin dari kisah Melga ini. Tentang lelaki yang dianalogikan sebagai gelas yang kosong, dan Melga yang berusaha mengisi penuh kekosongan gelas itu.

Looks like she can fill it up full. Tapi perlahan (tapi pasti), lubang kecil tak terlihat pada gelas itu memaksa air yang ada di dalamnya mengalir keluar entah kemana.

Dan gelas itu kembali kosong.

Hal itu akan terus berulang sampai kapan pun; sampai kamu sadar, itu bukan karena kurangnya cinta yang kamu berikan ke dia; tapi itu tentang how you can see the broken part of the glass, and seal them.

Baru kemudian, kasih sayang kamu akan selalu membuat gelas itu selalu penuh.

Hey? what kind of seal is that?

It's what we called: trust.

"Mel?" tanya gw setelah diam begitu lama.

"Have you seen the leaking part of the glass?"

"Leaking?" Melga kelihatan bingung.

Aji.. aji, sudah delapan tahun ga ketemu, masih tetep aneh aja - batin Melga.

***

Dear Ke, someday I'll tell you clearly about this.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.