Di Ujung Waktu

6 years ago

Hey, apa kabarmu?

Saat kamu membaca blog ini, mungkin mas sedang merengkuh jemarimu, atau mungkin justru sudah terlalu lama jemari kita sudah tidak saling menggenggam.

Mas cuma ingin nulis ini, cuma sebagai pengingat akan suatu hal yang penting (seenggaknya menurut mas ya.. hehehe).

Mungkin kamu sudah melabeli mas dengan kalimat 'grumpy old man', orang tua yang bawel, yang suka menggerutu, mengeluh, atau entah apa lagi.

Ya, memang harus diakui sih.

Mas memang selalu bawel untuk melarangmu pulang terlalu malam; melarangmu untuk pergi jauh jika tidak mas temani; melarangmu untuk pergi nonton, karaoke, dan lain sebagainya.

Dan mungkin berjuta-juta larangan lainnya yang ga mas inget.

Walaupun mungkin ini sudah ga penting lagi, mari kita flash-back sebentar.

Mas akui, mas memang sering melarangmu ini itu.

Apakah mas ingin mengekangmu?

Tentu saja enggak.

Mungkin kedengeran terlalu kekanakan, atau bahkan konyol. Mas lakukan itu karena mas sayang kamu. Mas ga ingin ada apa-apa terjadi di kamu; bahkan mas takut, ada seseorang yang kemudian mendekatimu dan kamu dekat dengannya, hingga akhirnya kita menjadi jauh.

Konyol, ya?

Tapi, kemungkinan memang selalu ada, kan ?

Hingga akhirnya mungkin kamu penat. Kamu bosan dengan semua larangan mas itu. Dan mencoba untuk sedikit mengabaikannya.

Dengan sedikit white-lies, dengan dalih pergi makan dengan temen sekantor, kamu ternyata pergi nonton dengan temen-temen (perempuan) mu.

Apa itu salah, mas ?

Ya tentu saja tidak. Tapi kalimat white-lies itu walaupun terdengar halus, namun tetap saja diakhiri dengan kata lies; bohong.

Tapi saat itu mas ga marah, kan ?

Mas cuma diam saja, dan berusaha memahami, bahwa itu semua memang salah mas.

Hingga mungkin, sampai di titik lelahmu atas semua ini, muncul satu kalimat yang terucap dari mulutmu.

"Aku senang keluar makan sama temen-temenku, karena dengan mereka aku bisa makan di mana aja, di emperan jalan, di mana pun. Mas ga bisa kan seperti itu?"

Mas terdiam, sedikit kaget. Saat itu.

Ya, bisa jadi mas ga bisa seperti itu.

Apakah karena mas sombong?

Astaghfirullah, jauh dari itu. Bahkan mas suka sekali makan "sembarangan" seperti yang kamu bilang itu.

Lantas kenapa selama ini ga mau?

Kamu tau kan, mas selalu mikir ke depan? Kamu tau yang mas pikirkan saat itu?

Gini ya, saat kita di mobil berdua, di jalanan yang sempit itu. Mas nggak bisa berhenti sembarangan (seperti orang lain), untuk sekedar membeli makanan di sana.

Karena dengan mas berhenti, tentu saja kita akan menjadi penyebab macet-nya jalan itu. Dan kemudian akan banyak muncul sumpah-serapah dari pemotor-pemotor yang melalui jalan itu.

Mas berusaha hindari itu.

Tapi ya, sudah lah, itu sudah berlalu.

Dan sekarang giliran mas untuk mengatakan sesuatu ke kamu.

Kamu, dengan segenap cintamu dan waktu yang kamu berikan, telah mengisi kekosongan hati mas, telah mencairkan hati mas yang sudah hampir membeku.

Hingga akhirnya mas bisa tersenyum lagi.

Namun hari demi hari berlalu, hingga terbentuk minggu, bulan, dan tahun. Waktu yang ada untuk kita itu sedikit demi sedikit tergerus.

Perhatianmu sudah jauh berkurang; waktu untuk mas sudah mendekati tiada.

Dari yang hampir setiap saat menyapa, hingga terbatas hanya saat istirahat siangmu dan malam, hingga akhirnya, hampir tak ada sama sekali.

Padahal mas butuh itu, butuh kamu untuk perhatikan mas.

Dan, salahkah mas kalau saat ini, menyeruak di dada mas, bahwa mas sudah tidak sepenting itu lagi bagimu ?

Apa mas salah, jika mas ngerasa rindumu pada mas sudah jauh berkurang, hingga mungkin tak lagi ada ?

Kemudian pagi itu mas mengeluh, "Mas memang ga sepenting orang2 yg sudah menghabiskan waktumu. Waktu yang tadinya ada buat mas."

Dan bagai tersambar petir, yang mengejutkan, kamu menjawab ketus, dengan kalimat, "Seperti Nola kamu."

Hmm?

Kamu menyamakan mas dengan orang yang sangat kamu benci.

Apa sudah sebenci itu kah kamu ke mas?

Mas tercekat; terdiam saat itu.

Hingga akhirnya kalimat itu pun terucap dari mas, jika kamu masih sayang mas, masih butuh mas, masih rindu mas, segeralah kamu hubungi mas; telepon mas, dan ucapkan kata rindumu itu.

Mas akan menyambutmu, karena rasa sayang mas ke kamu, masih sebesar awal kita bersama.

Tapi jika tidak, kamu bisa abaikan itu semua, dan kamu bisa berbahagia dengan mereka, dan terlepas dari si tua yang selalu melarangmu untuk ini dan itu.

****

Dan biarlah waktu yang mengisi bagian akhir dari tulisan ini. Bisa jadi kita akan kembali bersama, tertawa, dan memupuk lagi rasa cinta kita.

Atau justru, tawa itu tetap ada, tapi tak lagi dengan mas. Dan tiada lagi kata "kita" di sana.

Entah lah.

***

PS: Hingga di ujung waktu mas membuat tulisan ini, mas masih menanti kamu.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.