Looking Thru a Broken Glasses

15.12


Pagi!

Riri mencoba membetulkan letak kaca-matanya. 

Diaturnya sedemikian rupa, namun tetap saja tidak mampu menutupi sembabnya mata yang ada di baliknya.

Entah sudah berapa malam Riri menghabiskan waktunya dengan diam merenung. Dan sudah tak terhitung lagi – berapa kali matanya tiba-tiba terasa panas, hingga air mata pun turun berjatuhan seperti tiada habisnya.

Riri sedang patah hati.

Beberapa minggu yang lalu, tanpa dia sengaja – dia melihat Anton, kekasihnya, sedang bersama wanita lain, entah siapa. Sekuat tenaga Riri berusaha meredam gejolak emosi yang ada di dalam hatinya, dengan berpikir, ‘Ri, tenang, mungkin itu rekan kerja Anton. Mungkin dia dengan wanita itu sedang menanti client kantor-nya; seperti yang dia lakukan selama ini..’

Degup yang mulai mereda itu tiba-tiba serasa meledak kembali – ketika dia melihat anton mengecup kening wanita itu.

Sumpah serapah terucap untuk kesekian-kalinya. Siraman segelas air ke wajah Anton tetap tak bisa meredam emosi Riri.

Dan pada akhirnya, Riri tetap saja kembali kepada kodratnya, bahwa dia hanyalah seorang wanita dengan hatinya yang rapuh – dan ia pun terduduk, bersimpuh dengan air mata yang berurai tak tertahan.

Dan kata putus pun terucap.

Kejadian itu telah lebih sebulan berlalu. Namun perihnya masih sangat terasa di hati Riri. Bayangan kejadian itu masih terus membekas di dalam benaknya. Semakin Riri berusaha untuk menghilangkan bayangan itu; kejadian itu malah semakin lekat menancap. Dan pedih itu semakin menjadi.

Berulang kali Riri teriak dalam hatinya. Mengapa kejadian-kejadian menyakitkan seperti ini selalu saja terjadi pada dirinya. Bukan kali saja dia disakiti oleh makhluk yang disebut laki-laki ini. Bukan cuma Anton yang pernah melukai hatinya. Tapi ada laki-laki lain sebelum dia yang pernah melakukan hal yang sama : membuat luka, dan meninggalkan trauma yang tak kunjung bisa ia hilangkan.

Trauma?

Ya, terkadang Riri merasa takut untuk jatuh cinta lagi. Ketakutan akan kegagalan dalam menjalin hubungan dengan lelaki ini, membuat Riri membuat jarak dengan mereka. Ketika ada lelaki yang berusaha mendekat, Riri selalu berangsur-angsur menjauh. Bahkan ketika ada seseorang yang dengan tulusnya berusaha memberikan cintanya kepada Riri, yang ada di bayangan Riri hanyalah Anton dan laki-laki lain yang pernah menyakitinya.

Hingga sebuah kalimat pun terucap, “Aku ga mau jatuh cinta lagi!”

**

Pada sebuah kesempatan, saat gw dan Riri sempat semeja untuk makan siang, dia membuka percakapan dengan sebuah kalimat, “Ji, apa sih yang bikin kamu begitu mencintai kekasih kamu sekarang ini?”

Sebuah kalimat pembuka yang benar-benar bikin gw tertegun.

Melihat gw terdiam seperti itu, Riri menyambungnya lagi dengan sebuah pertanyaan tambahan yang tidak kalah mengejutkannya, “Apakah suatu saat nanti kamu akan ninggalin dia?”

Mungkin dua pertanyaan tadi tak ubahnya sebuah pertanyaan retorik – karena dia terlihat ga menunggu jawaban dari gw, justru sibuk dengan semangkuk mie ayam yang ada di hadapannya.

“Kenapa nanya seperti itu, Ri?”

Riri memandang gw sekilas, kemudian balik lagi ke makanan yang sedang dilahapnya itu. Dia berujar dengan pelan, “Entah kenapa aku ga percaya dengan cinta seorang laki-laki, Ji.”

“Hm? Kamu lesbian, maksudnya?” Tanya gw sambil tertawa – bercanda, tentu saja!

“Ngawur!”

Riri tertawa pelan.

“Cuma, aku ga percaya aja ada cinta yang tulus dari seorang laki-laki. Yang bisa mereka lakukan cuma menyakiti aku.”

Gw berhenti tertawa. Dari mimik mukanya, kelihatan banget kalo Riri ini serius banget dengan kalimatnya ini.

“Kenapa gitu, Ri?” Kali ini, gw ikutan jadi serius.

Riri tersenyum, “Entahlah, Ji. Mati rasa kali ya?”

“Terlalu banyak laki-laki yang nyakitin aku. Mulut mereka benar-benar manis, tapi ujung-ujungnya semua sama. Mereka semua buaya!” Kalimat Riri terdengar agak ketus.

Kecuali gw Ri…, batin gw getir.

Mungkin, wajar sekali jika Riri sampai merasa seperti ini. Keadaan-keadaan yang berujung sangat menyakitkan ini seringkali membuat traumatik tanpa kita pernah menyadarinya. Hingga tanpa terasa, secara refleks, kita selalu menghindar apabila berhadapan dengan permasalahan yang sama.

Tapi, bukankah masalah itu seharusnya dihadapi; dan bukan dihindari?

Gw tergelitik untuk bertanya, “Ri?”

“Ya?” Jawab Riri sambil menenggak segelas es teh manis di depannya.

“Apakah kamu pengen seperti ini selamanya? Ehm, maksud gw, tidak kah kamu ingin, suatu saat nanti, ada seorang lelaki yang mendampingimu – dan menghabiskan waktumu bersama dia?”

Riri meletakkan gelasnya di meja. Dihelanya nafas gak panjang, sambil matanya menerawang agak jauh – menembus gw yang sedang duduk di depannya.

“Itu impianku selama ini, Ji. Bahwa ada seorang lelaki yang mencintai aku apa adanya, dan terus bersamaku sampai di penghujung usia kelak.”

Terdengar helaan nafas dari Riri lagi.

“Tapi…”

“Perih itu masih sangat terasa. Sakit Ji.. Aku ga mau ngerasakan perih seperti ini lagi. Cukup sudah, mereka – lelaki buaya itu, menyakiti aku. Cukup…”

Mata Riri terlihat agak berkaca-kaca.

Gw ga ingin melanjutkan percakapan ini. Gw ga ingin Riri teringat kembali akan masalahnya. Lagi pula, kami sedang berada di public area – tentu bakal banyak mata yang menatap curiga jika Riri sampe nangis di depan gw sekarang ini. Hehehe.

**

Suatu pagi, ketika gw sedang berjalan di parkiran – menuju kantor gw. Riri terlihat sedang berjalan pelan di depan gw. Dan seperti yang sudah-sudah, dia berjalan dengan mata yang nampak menerawang – menatap jauh ke depan. Entah apa yang sedang ada di pikiran dia.

Gw mempercepat langkah gw.

“Ri..?” Sapa gw pelan, takut mengagetkan dia.

“Eh, kamu, Ji..” Riri tersenyum ke gw.

“Bisa minta tolong sesuatu, Ri?”

“Ya?”

Gw senyum ke Riri. “Boleh pinjam kacamata kamu?”

Riri terlihat mengernyitkan keningnya.

“Hah? Untuk apa Ji? Kan kamu ga pake kacamata?” Tanya Riri, heran.

“Memang. Tapi coba, gw pinjam bentarrr aja…”

Riri melepas kacamatanya. Dia masih terlihat terheran-heran, kenapa lagi si Aji ini, batinnya. Pagi-pagi sudah minta yang enggak-enggak aja.

“Thanks,” kata gw sambil menerima kacamata minus empat, yang diulurkan oleh Riri.

“And?” Riri masih penasaran dengan kelakuan gw ini.

“Nah, Ri. Sekarang, coba lihat gw.”

Riri mendongakkan kepalanya, dan berusaha melihat mata gw.

“Apa yang kamu lihat, Ri?”

“Ummm.. ya gw lihat kamu. Aji Saka. Orang gila yang sedang minjem kacamata-ku!”

Gw ama Riri tertawa.

“Coba dilihat lagi, apa yang terlihat di mata kamu sekarang, Ri?”

“Tetap kamu Ji! Cuma tentu saja dengan gambar yang buram – Ah Ji, kan kacamatanya di kamuuu..”

Gw tersenyum, “Ri, kamu pasti bisa melihat jelas ya kalo gw kembaliin kacamata ini ke kamu?”

“Tentu saja!” Sahut Riri.

“Tapi…, jika seandainya.. kacamata ini gw pecahkan lensa-nya, hingga retak-retak.. trus gw kembalikan lagi ke kamu… apa kamu bisa ngelihat lebih baik?”

Riri nampak bersungut-sungut, mungkin dia heran juga dengan pertanyaan aneh gw itu.

“Ya pasti gw ga bisa ngelihat dengan jelas, Ji! Ada-ada saja kamu itu.”

Gw tersenyum lagi. “Ri, inilah yang sebenernya ingin gw bilangkan ke kamu kemaren, waktu kita makan siang itu,” kata gw sambil mengembalikan kacamata Riri.

“Maksudnya? Maksud kamu apa, Ji?”

“Begini.. bukan salah gw, kalo kamu ga bisa ngelihat gw dengan baik, kalo kamu lupa mengenakan kacamata kamu, atau kamu mengenakan kacamata yang sudah rusak.”

“Yang salah itu, bukan apa yang kamu lihat, tapi bagaimana kamu melihat sesuatu.”

Riri terdiam mendengarkan kalimat-kalimat itu.

“Jika kamu melihat sesuatu yang indah – namun kamu melihatnya dengan kacamata yang sudah rusak, tentu saja ia tidak akan nampak seindah aslinya.”

“Sepertihalnya kamu, Ri. Jangan paksakan diri kamu untuk menilai sesuatu, bila hatimu sendiri masih terluka. Karena jika itu kamu paksakan, semuanya akan nampak buruk di mata kamu.”

“Selekasnya sembuhkan hati kamu. Baru kemudian, cobalah kembali belajar, untuk melihat semua keindahan yang telah diberikan kepada kita ini.”

Riri tersenyum.

“Ji?”

“Ya?”

Riri terdiam sebentar.

“Thanks sudah bikin gw telat absen hari ini ya!”

Asem!

1 komentar:

SueQa mengatakan...

Aji...aq terharu sekaligus tersenyum baca tulisan kamu ini..
aq pernah menjadi seperti RiRi mu itu...
dan kegelisahan itu aq tuangkan di blog aq..laqiqu..
aq suka cara kamu mamberikan solusinya..smart

Diberdayakan oleh Blogger.