Cinta : Madu atau Racun ?

08.50

Selamat Pagi!

Alkisah ada dua orang lelaki. Dua orang Karib, yang sedang duduk santai di bangku panjang di pinggir lapangan sepakbola in-door (baca:futsal) – yang baru saja selesai mereka lakukan.

Dua lelaki tigapuluh-an ini nampak begitu serius dalam perbincangannya.

“Tapi ya ga bisa gitu dong, Ndro!”

“Lho kenapa? Apa salahnya?”

“Ya, masa mau ngerebut selingkuhan orang untuk dijadikan selingkuhannya?”

“Kenapa?”

“Lha terus disebut apa si perempuan itu? Selingkuh Kwadrat? Atau Akar Pangkat Selingkuh?”

Hwadah.

Dua lelaki – yang ternyata – bernama Hendro dan Sayuti itu ternyata sedang membahas sebuah topik yang super panas – akhir-akhr ini. Apalagi kalo bukan si Rani, Rahani, Rhani, atau apa lah namanya. Seorang gadis biasa – yang sedikit manis, sih – tapi sekarang bekennya sudah ngalah-ngalahin artis top ibukota.

Tentu saja yang mereka bahas bukan – apa latar belakang pembunuhan berencana itu, dan tentu saja mereka juga tidak membahas apakah ada skenario busuk yang lebih besar di belakangnya.

Buat dua karib ini, jauh lebih menarik ngobrolin masalah ‘perempuan’-nya ketimbang masalah korupsi, politik, atau apapun di balik itu.

“Yut, kalo kamu jadi laki-laki itu, apa kamu akan melakukan hal yang sama?”

Sayuti mengernyitkan dahinya, “maksudnya?”

“Ah, bego, maksudnya : apa kamu juga akan menembak selingkuhan si wanita itu?”

Sayuti diam. Dahinya mengernyit lebih dalam lagi.

“Apa situasinya juga aku sudah punya istri juga?”

“Iya.”

“Apa situasinya juga aku sudah punya pekerjaan dengan gaji puluhan – atau bahkan ratusan juta, juga?”

“Uhm, iya.”

“Trus, apakah situasinya juga : aku adalah seorang Jagoan yang sudah menghajar puluhan bandit-bandit pengemplang duit rakyat?”

“Iya iya iya!” si Hendro mulai sewot.

Sayuti masih mengernyitkan dahinya. Kelihatan sekali masih banyak yang ingin ia ucapkan sebelum ia memutuskan untuk memberikan jawaban kongkrit kepada karibnya ini.

“Ndro?”

“Yo!”

“Apakah situasinya : aku juga jatuh cinta pada perempuan itu?”

Gantian Hendro yang diam. 

Sumpah, bingung mau jawab apa dengan pertanyaan yang terakhir ini; karena toh, soal cinta – apalagi dengan diawali dengan kata “jatuh” ini, hanya bisa dijawab dengan si empunya hati. Bahkan si wanita pun tidak akan pernah bisa menjawab pertanyaan semacam ini.

Guys, orang bule bilang, Love is only a four letters word. It’s that easy, it’s that simple – but it can cause a damn complicated problem that even einstein wouldn’t be able to solve.

Berlebihan ya?

Bisa jadi tidak. Karena toh cinta itu soal hati, soal rasa; jika mata hati sudah tertutup rapat – dan rasa itu sudah terkunci tanpa mau berkata manis, pahit, atau asam – siapa berani menjamin, bahwa otak tidak akan ikut teracuni; hingga akhirnya mampu mengucapkan titah pada sekujur organ tubuh yang menjadi bawahannya untuk berbuat sesuatu yang di luar akal sehat?

Siapa berani menjamin? 

Nah, kan, semua diem. Hehehe.

Dan, jika otak sudah teracuni – apalagi dengan didukung kekuasaan duniawi yang dimilikinya – tidaklah susah baginya untuk sekedar berucap abracadabra! dan puffs! lelaki “musuhnya” itu pun hilang dari pandangan mata.

“Tapi Ndro, apa lantas si wanita itu jadi miliknya?”

Hendro menggeleng-geleng.

“Kan udah dibilang tadi, cinta kan soal hati, soal rasa. Sangat susah – jika tidak boleh dibilang tidak mungkin – untuk memaksakan seseorang agar jatuh cinta pada kita.”

“Kecuali dengan pelet! Hahaha,” sambung Sayuti dengan terbahak.

“Iya, kecuali dengan itu. Atau jika ilmu pelet itu sudah menjadi aplikasi standar di blackberry-mu.”

Hehehe.

Lagi pula, jika pun seandainya, wanita itu mau menjadi selingkuhan baru dari lelaki yang barusaja menghabisi rival-cinta-nya itu; tentu saja ia akan dengan segera dinobatkan sebagai wanita terbodoh yang pernah hidup di dunia ini.

Karena, cuma wanita bodoh – atau wanita yang buta mata hati-nya yang rela melibatkan dirinya dalam urusan super-pelik yang (seharusnya) bukan menjadi masalahnya.

“Ndro, kalo gitu, kita ini termasuk orang-orang yang beruntung, ya?”

Hendro memandang Sayuti bingung.

“Kok bisa?”

Sayuti tersenyum, “ya gimana lagi, hingga usia kepala tiga gini ini, kita ga pernah diribetin sama masalah cinta itu, kan?”

“Owalah Yut, yut.. beda-beda tipis sih, antara ga diribetin ama ga laku!”

Hahaha.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.