Tentang Jodoh dan Bahagia Itu

8 years ago

Tit.. Tit...

Oke oke, gw ga mau mulai cerita dengan kata-kata yang saru; tapi tolong dipahami, jika memang itulah bunyi nada di hape gw saat ada pesan masuk.

Ji, di mana?

Oh ternyata Riris, teman lama gw, yang sudah puluhan tahun ga ketemu, dan baru ketemu sekitar dua mingguan ini lewat group WhatsApp alumni sekolah.

Oh ya, gw perlu jelasin dulu tentang Riris ini.

Dia itu sepantaran sama gw - yang artinya, sama muda-nya dengan gw. Hihihi.

Dia perempuan yang mandiri; dengan pekerjaan yang mapan; dan terlihat sangat bahagia dengan kehidupannya.

Jujur gw ga terlalu dekat dengan dia.

Well, oke-oke, gw mau jujur lagi. Gw ga pernah dekat dengan siapa-pun. Akibatnya fatal memang, saat ketemu temen lama di jalan, gw ga pernah ngeh kalo ga disapa duluan.

Hihihi.

Dengan Riris ini pun sama; sepintas dari wajahnya, gw memang ingat bahwa dia memang teman SD gw.

SD lho ya, jadi paham kan, kenapa gw jadi nge-blank tentang ini?

Obrolan-obrolan di group WA itu yang akhirnya membuat dia tau, bahwa gw ini hobi banget nge-gossipin orang, eh nggak-nggak, maksud gw: gw hobi nulis. Nulis tentang kehidupan orang.

Hihihi, beda tipis sama nge-gossip sih ya.

Dan ada beberapa tulisan gw yang akhirnya bikin dia keingat akan ceritanya.

Nah kan, dia terjerumus ke orang yang salah. Hihihi.

 Jiiii, inget yang kemarin? - dia nulis lagi di WA.

Yang mana Ris?

Tentang wanita yang bimbang untuk memilih: memilih untuk bahagianya, atau mengorbankan kebahagiannya demi kebahagian anak-anaknya.

Oh itu. Yang mana ya?

Hihihi, coba deket. Gw pasti sudah dilempar sendal.

Nggak.. nggak, Ris, gw masih inget kok, gw belum sepikun itu.

Trus?

Ji, wanita itu sudah berusaha sekuat tenaga dia, semampu dia untuk menjadi istri yang sempurna buat si lelaki, tapi entah kenapa, selalu ada yang salah, ada yang kurang. 

Gw tersenyum. Gw lagi nyetir di tengah macetnya Surabaya; jadi meski gw senyum-senyum sendiri seperti ini - anggapan bahwa gw mulai gila jelas tidak akan timbul dari orang-orang sekeliling gw.

Dan melihat WA dia yang sudah terlalu panjang seperti itu, tentu akan sangat menyakitkan jika gw cuma balas dengan jawaban khas gw: "Oh?".

Hehehe.

Jadi mau ga mau, gw harus telpon dia. Bahaya nyetir sambil texting seperti ini.

"Hai Ris! Sorry, ga bales WA, ya. Lagi nyetir, jauh lebih gampang kalo sambil ngobrol gini."

"Iya. Trus gmn?"

Hmmm... Pagi-pagi gini kok sudah diajak ngobrol yang berat-berat.

"Sebelum gw jawab pertanyaan kamu, gw ada pertanyaan buat kamu."

Gw diem.

"Kebanyakan yang melakukan hal seperti ini memang laki-laki. Sampai  ada anggapan bahwa laki-laki tuh buaya, dan sebagainya."

"Tapi bagaimana seandainya, justru sekarang si Wanita yang melakukan? Bagaimana jika si Wanita yang melakukan, dan lelakinya hanya diam menerima - meskipun perih di hatinya?"


"Sampai akhirnya ada wanita lain yang mengisi hatinya. Mengisi kekosongan hatinya."

"Si lelaki sangat mencintai wanita itu, begitu pun sebaliknya. Apakah lelaki itu tidak boleh untuk berbahagia kali ini?"

Riris cuma diam mendengarkan.

"Kalau menurut gw, mending diselesaikan, Ji," sambungnya kemudian.

"Nah! Itulah yang ingin gw omongkan ke kamu."

Terdengar suara helaan nafas di ujung sana.

"Iya, Ji, coba kamu jelaskan dulu," ucap Riris.

"Ris, kalo buat gw sih. Kadang kita ini terlalu terikat akan sebuah dogma tentang pernikahan; bahwa pernikahan itu sakral, memang iya; bahwa sebisanya pernikahan itu untuk selamanya, memang iya."

"Itu ada tapi-nya, kan Ji?" sambung Riris cepat.

"Iya Ris, memang ada tapi-nya," kata gw sambil tersenyum. Meskipun senyum itu tentu tidak terlihat di sana.


"Ris, jika di perjalanannya, ternyata yang ada hanya saling menyakiti, dan masing-masing tidak mau atau ga bisa memperbaiki masalahnya itu...  Apa hanya karena dogma, maka ini semua harus dipertahankan?"

"Apa hanya karena tidak ingin terlihat buruk di depan orang lain, maka perasaan sendiri justru dikorbankan?" Sambung gw lagi.

Terdengar hening sesaat.

Pelan terdengar suara isak tangis tertahan di ujung sana.

"Ris? Kamu nangis? Jangan nangis ya.., gw ga ada maksud bikin kamu nangis.."

"Saya gpp, Ji," ucap Riris pelan.

Hmm.

Gw jadi keinget sebuah quote di tulisan lama gw.

Bahkan, jika ada yang tanya ke gw, apakah wanita yang kunikahi ini adalah benar tercipta untuk gw? Apakah nanti ada wanita lain yang akan datang dengan dalih sebagai jodoh sesungguhnya untuk gw?

Ya, jodoh memang salah satu dari sekian rahasia yang hanya sang pemilik semesta-lah yang tau tentang ini.

Jadi jika ada anggapan bahwa seseorang yang kita nikahi adalah jodoh kita.

Bagaimana kita bisa tahu itu?

Kenapa kita jadi bertindak - seolah menjadi pemilik semesta, yang bisa menentukan apapun yang dia mau?

Intinya: bahkan gw sendiri pun ga tau, siapa jodoh gw sebenarnya.

"Ji, kok diam?" tanya suara di ujung sana.

Gw baru sadar kalo sedari tadi gw cuma melamun membayangkan ini semua.

"Ji, jika memang harus pisah. Bagaimana dengan anak-anak? Apakah aku harus renggut kebahagiaan mereka juga?"

Gw tersenyum lagi.

"Ris, apakah anak-anakmu ingin bundanya selalu sakit?"

Riris terdiam.

"Apakah anak-anak kita ingin ada kepalsuan di depan mata mereka? Ada kepura-puraan pada kedua orangtua-nya ?" Tanya gw lagi.

Riris masih terdiam.

"Lagi-lagi tentang dogma, bahwa pernikahan tanpa perceraian adalah yang terbaik," ucap gw pelan.

"Sebuah hubungan yang dari luar nampak sempurna; nampak indah; namun keropos di dalamnya. Penuh dengan kebohongan."

"Bohong pada orang lain. Dan parahnya, bohong pada diri sendiri juga."

Tak ada suara di ujung sana; hanya terdengar suara isak pelan.

"Dan tentang anak. Sampai kapan pun, bahkan sampai kita meninggal nanti, anak itu akan tetap menjadi anakmu."

"Gw yakin, rasa sayangmu, tanggung jawabmu ke mereka tak kan pernah luntur oleh apapun itu."

"Ji.."

"Ya, Ris?"

"Bagaimana dengan dosa? Bahwa mencintai lelaki selain suami kita adalah sebuah dosa?"

Astaga, Riris!

"Ris, yang berhak menentukan bahwa perbuatan itu adalah dosa, seseorang itu adalah kafir, dan sebagainya, itu adalah hak Sang Pencipta."

"Apakah kita mau berlagak menjadi Dia?"

"Urusan ini adalah urusan kamu dengan Penciptamu, Ris. Bukan urusan orang-orang di sekitarmu."

"Kuncinya cuma satu: Jujur."

"Jika memang tidak bisa diperbaiki, memang sudah sepantasnyalah untuk diakhiri. Bukankah juga ada yang mengatakan, bahwa merusak, atau menyakiti diri sendiri adalah dosa?" Sebuah pertanyaan retorik dari gw.

Ada helaan nafas di ujung sana.

"Ji, terima kasih ya," ucapnya perlahan.

"Ris, ini cuma pendapat gw pribadi ya. Jadi jangan dianggap terlalu serius, ya."

"Kamu memang baik, Ji," kata Riris lagi.

Yaah, saya memang baik sih - tentu saja ini cuma ucapan dalam hati saja. Hihihi.


****

Dan bagaikan sebuah benang yang kusut; pada awalnya mungkin hanya sebuah lilitan yang sederhana saja; yang kemudian terabaikan, hingga akhirnya membentuk sebuah bola kusut yang tidak mungkin diuraikan lagi.

Hanya satu yang bisa dilakukan: gunting saja!

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.