Just a One Way Ticket

16 years ago

Senja itu, matahari masih nampak belum sempurna kembali ke peraduannya; bias merahnya tampak masih begitu tegas – menyayat awan yang mulai nampak kelam.

Di sore seperti ini, suasana kantor memang nampak sangat lengang sekali – perubahan jadwal kerja untuk karyawan produksi memang sangat berdampak atas sangat berkurangnya hiruk pikuk yang terjadi di saat seperti sekarang ini.

Hening sekali.

Hmm.. kantor ini serasa ga berpenghuni sama sekali; gw edarkan pandangan mata gw, jauh ke sekeliling halaman kantor depan. Gambaran gunung yang kokoh itu mulai nampak buram; mulai nampak redup karena cahaya yang mulai nampak temaram.

Dan pandangan mata gw berhenti di satu sosok, yang sedang terduduk di beranda mushola.
Sosok laki-laki pendiam; yang kata orang – nek ora digong mesti ora muni – atau dalam bahasa manusianya (hahaha) adalah : kalo ga diajakin ngobrol, pasti ga bakal ngomong.

Bisa jadi itu wajar, karena lelaki itu memang berada di divisi yang tidak mengharuskannya untuk bertemu dengan banyak orang; sehingga, sifat dasar pendiamnya itu semakin menjadi hari demi hari.

Tanpa basa-basi, gw langsung duduk di sebelahnya; memanjangkan kaki gw, lurus ke depan.

“Ga pulang, Tur?” Nah, ini baru basa-basi. Hahaha.

“Belum, Pak. “

“Lho, kenapa?”

“Masih menikmati senja,” jawabnya – yang lagi-lagi – begitu singkat.

Gw melirik ke Fathur yang sedang duduk di sebelah gw ini; matanya nampak memandang kosong ke depan. Dan dari gaya tubuhnya, gw sangat yakin, pasti ada banyak hal yang sedang berkecamuk di dalam benaknya.

“Mikirin sesuatu, Tur?”

Fathur ngelirik gw.

Gw pun ngakak, “hahaha, iya-iya Tur, memang rada gak lazim ya, laki-laki cerita tentang masalah pribadinya ke orang lain.”

“Dan percayalah Tur, gw ini masih laki-laki normal kok. Hahaha, it’s just, mungkin dengan cerita, bisa ngeringanin beban kamu, dan untungnya buat gw adalah : gw ga mati karena bengong nungguin jam pulang kantor.”

Fathur ikutan ketawa – meskipun ga seberapa lama.

“So?”

“Bukan masalah penting, pak.”

“Masalah apa?”

“Malu pak.”

“Holoh! Kan cuma disuruh cerita, bukan mau dikawinin. Hahaha”

“Kemarin saya ketemu Shinta.”

Nah, kalo ini gw asli ga mudeng. Maklum, gw juga ga seberapa deket ama Fathur ini – jadi, ya maklum kalo dia cuma nyebut nama seperti ini – gw ga bakal ngerti siapa orangnya.

“Shinta?”

“Iya pak, Shinta – seseorang yang pernah dekat dengan saya; 19 tahun yang lalu.”

“Hah?!”

Fathur tersenyum – dengan tanpa mengindahkan rasa kaget gw atas kalimat sembilan belas tahun lalu itu – dia melanjutkan lagi ceritanya.

“Semua jadi seperti berkelebat pak. Saya jadi merasa seperti anak kecil lagi; seperti kembali ke masa lalu; masa dia masih menjadi orang yang dekat di hati saya.”

“Saya ngerasa deg-degan; banyak perasaan aneh yang ikut berkecamuk di dalam hati saya.”

Gw tersenyum. Belum lagi ada kalimat yang terucap dari mulut gw, Fathur kembali melanjutkan kalimatnya lagi, “Kenapa saya jadi seperti jatuh cinta, ya pak?”

Sialan! Kenapa harus pake kalimat tanya segala, wong dari tadi gw ga dikasih kesempatan buat ngomong, kok.

Hening.

“Pak?”

“Eh, udah giliran saya yang ngomong toh?”

“Gini, Tur. Pertama saya pengen tau dulu, apa kabar dia? si Shinta itu lho.”

“Dia baik-baik pak. Sudah jadi orang terkenal, dia.”

“Oh, ya? Sudah nikah?”

“Sudah..,” jawabnya lirih.

“Hmm, saya juga pengen nanya lagi. Kenapa tadi kamu bilang, kalo kamu ngerasa seperti jatuh cinta?”

Fathur diam. Matanya kembali menerawang jauh.

“Kenapa, thur?” tanya gw mengingatkan.

“Apa karena dia sekarang terkenal? Atau, apa karena kamu menyesal tidak bisa bersamanya? Atau apa?”

Fathur masih diam; ada kalimat yang terdengar sedikit samar di telinga gw – mungkin karena sedikit menggumam, “Nggak pak. Saya seperti merasa kembali menjadi anak kecil – yang berdebar-debar saat bertemu dengan gadis pujaan hatinya.”

Suasana kembali hening – seiring dengan matahari yang sudah sepenuhnya hilang di dalam peraduannya.

**
Percakapan kemarin itu memang cuma sampai di situ. Tidak ada lanjutan percakapan yang terjadi antara gw dan Fathur; kadang memang hal-hal semacam itu tidak mudah untuk dibicarakan.

Hal-hal yang menyangkut hati dan perasaan – mungkin memang sebaiknya hanya kita sendiri yang tahu. Iya, kan?

Gw ada satu pertanyaan singkat untuk kalian semua, yaitu : pernah nggak kalian mengalami apa yang dirasakan oleh teman kerja gw itu? Bertemu dengan seseorang yang sudah sekian belas, atau puluh tahun tidak bertemu. Bertemu dengan orang yang dulu (atau bahkan, hingga saat ini?) pernah berada di tempat yang spesial di hati kamu .

Pasti 9 dari 10 orang yang gw tanya akan menjawab iya. Dan karena banyaknya orang yang mengalami hal seperti inilah, yang membuat stasiun TV berlomba-lomba membuat reality show dengan tema serupa.

Salahkah perasaan seperti ini?

Come on! Gw adalah orang yang ga pernah sekalipun menyalahkan seseorang atas perasaan yang timbul di dalam dirinya. We could never control our heart; yang bisa kita lakukan hanya membuatnya menjadi samar, hingga sebisa mungkin tak terlihat oleh orang lain.

Jadi, jelas bukan salah hati kalian, jika tiba-tiba merasakan hal seperti ini.

Manusiawi sekali.

Hanya saja, terkadang, karena hal seperti ini, apa yang terjadi menjadi sangat tidak rasional. Menjadi seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri; dan melupakan kenyataan bahwa ia hidup di masa sekarang ini, bukan di masa lalu.

Terkadang nalar menjadi tertutup; dan hati ini langsung diselimuti oleh bayangan-bayangan masa lalu – yang membuat mata menjadi buta; tak mampu – dan tak mau, melihat kenyataan yang ada di hadapannya.

Jika hal itu yang terjadi, gw menjadi sangat tidak setuju.

Kenapa?

Karena, hidup itu seperti menyusun bata-bata rapuh; yang kita susun dengan segenap cinta yang ada – agar terbangunkan sebuah bangunan kokoh dan indah – yang akan melindungi kita dari hujan dan panas terik, yang menghadang bahtera kehidupan kita ini.

Hm? Apa hubungannya?

Jelas berhubungan; karena cinta di masa lalumu itu juga merupakan bagian dari bata yang membentuk dirimu saat ini.

Dan bata-bata itu berada di dasar bangunan itu.

Percayalah, jika bata-bata itu kamu usik – bukan hanya bata masa lalumu itu yang akan hancur berantakan – tapi juga seluruh bangunan yang mulai nampak terbangun itu.

Semua akan menjadi sia-sia.

Jadi, biarkanlah bata-bata itu selalu berada di sana; yang akan selalu menjadi penopang yang kokoh dari bangunan ini; yang akan selalu menjadi pengingat : bahwa ia akan selalu ada, bersamamu, sepanjang hidupmu.

**
Dan catatan hari ini gw akhiri dengan sebuah kalimat sederhana :

Because we live in the presence, not in our past – and life will only offer us a one way ticket to its future with no turning back. And she (or he) will always be the beautiful part of our memories.

1 komentar:

little_star mengatakan...

catatan kaki yang bagus.

Hmm...

ayoooo semangat *buat diri sendiri*

Diberdayakan oleh Blogger.