Dan Rindu Itu

20.28


"Lo berubah sekarang, Ji," kata Ponco, salah satu sahabat terdekat gw.

"Berubah gimana maksud lo?"

"Lo kelihatan pendiam. Seperti banyak yang sedang ada di pikiran lo."

Gw ketawa pelan. "Sok tau lu, ah!"

"Mikirin apaan sih?

"Mikir?" tanya gw.

"Udah lah, gw udah temenan sama lo puluhan tahun, Ji."

"Gw udah ngerti lo seperti gw ngerti diri gw sendiri," sambungnya lagi.

Gw ketawa pelan lagi.

Ponco ini memang sudah puluhan tahun jadi sahabat gw. Mulai kenal dia dari jaman masih baju putih biru, hingga sekarang.

Dan memang pantas dia bicara seperti itu.

"Coba gw tebak," Ponco seperti rada maksa gw buat cerita. "You miss her, right?"

Heh?

Kok bisa-bisanya dia ngarah ke sana sih?

Tapi ya emang bener sih. Hihihi.

"Yes, I do. And will always do," kata gw singkat.

"Astaga Ji, itu kan mudah. Telpon napa sih?"

Gw menggeleng.

"Telepon itu mudah, Co."

"Trus?"

"Meskipun gw yakin, dengan dengerin suara lucu-nya itu, rindu gw akan langsung pupus. Tapi bukan 
itu yang gw cari."

Ponco makin bingung.

"Trus? Lo cari apa?"

"Gw cuma ingin ngeyakinin diri gw sendiri. Bahwa rindu gw itu adalah karena gw sayang dia, bukan 
rindu karena akan sesuatu yang telah terbiasa."

"Heh?"

"She owns part of my heart. I just want to make sure that the hole that is left will never be filled by other."

Ponco melongo. "Maksud lo, Ji?"

Gw ngakak.

"Udah-udah, lo ga usah sok kepo gitu."

Gw ngakak lagi.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.