Will You Find Me Home?

16 years ago

Pagi!

Sabtu sore beberapa waktu yang lalu, sepulang kantor, gw menyusuri jalanan yang sudah lebih dari dua tahun ini gw lewati setiap harinya. 

Jalan yang ga pernah lepas dari kemacetan yang luar biasa; jalan berdebu dengan ratusan atau bahkan ribuan kendaraan bermotor - mulai dari motor bebek hingga truk raksasa dengan belasan roda yang menumpunya.

Tapi sore itu beda.

Di tengah kemacetan itu, mata gw tiba-tiba berhenti pada sekelompok anak berseragam putih-merah yang sedang berjalan sepulang sekolah, ditingkahi beberapa anak kecil yang sedang riang bermain; sementara seorang ibu - entah, mungkin itu ibu mereka - sedang sibuk menimang-nimang bayi kecil yang sedang tertidur lelap di pelukannya. 

Lho, bukankah itu pemandangan biasa, Ji?

Ya, mungkin itu semua adalah kejadian yang biasa - seandainya saja pemandangan di belakangnya itu bukanlah rumah-rumah dari kardus yang nampak lusuh, yang nampak agak sedikit miring - hingga terlihat hampir rubuh.

Gw jadi mikir. Apa yang akan gw rasakan seandainya gw ada di posisi mereka. Sepulang kantor, menuju "rumah" - yang tentu saja sangat tidak layak untuk disebut sebagai rumah. Sepulang kantor, untuk beristirahat di sebuah tempat - yang tentu saja sangat jauh dari kata nyaman.

And so, can I be proud, and say that it's my home?

Pikiran gw melayang-layang sepanjang perjalanan itu. Beberapa lembar uang ratusan ribu di dompet gw tentu tidak ada artinya; dan tidak mungkin akan merubah gambaran yang ada di sana tadi. Mungkin mereka akan tersenyum, mereka akan nampak bahagia - namun dalam dua-tiga hari ke depan, gambaran-gambaran tadi akan kembali terulang.

Gw masih inget bener, sekitar dua setengah tahun yang lalu; saat gw (mau-tidak-mau) harus meninggalkan kota tercinta, keluarga tercinta, untuk bekerja di luar pulau - jauh dari orang-orang yang gw sayangi.

Perasaan gw saat itu hampa sekali. Berat sekali kaki ini melangkah - walaupun di tanah impian itu - menjanjikan kemakmuran yang berlimpah dan kehidupan yang lebih baik.

Namun tetap saja, kaki ini terasa berat sekali - mungkin karena hati gw masih tertinggal di kota tercinta ini.

Ternyata perasaan itu tidak berubah, detik demi detik, hingga menjadi jam, menjadi hari, hingga berbulan-bulan. Sampe akhirnya gw memutuskan untuk kembali, dan memilih untuk menunda impian-impian gw tentang kemakmuran duniawi itu.

Dan di dalam perjalanan menuju bandara, dalam hati gw bilang: today, i'm coming home. Dan detakan-detakan bahagia sangat terasa di hati gw; bayangan-bayangan akan kembali di kota tercinta, bayangan-bayangan akan kembali bersama orang-orang yang gw sayangi - membuat gw seperti tak sabar untuk kembali menjejakkan kaki gw di tanah kelahiran gw.

Kembali lagi ke cerita tentang mereka, mungkinkah, dengan perasaan yang sama - saat sepulang sekolah misalnya, berkata dengan riang, horeee.. sudah waktunya pulang; it's time for me to come home.

Come home? Mungkinkah?

Tidakkah mungkin mereka justru akan merasa : kenapa waktu harus cepat berlalu? kenapa harus pulang? kenapa..  

Hmm. I really can't think, what I will feel if I were them. 

Mungkin, karena itulah, orang-orang asing - selalu menyebut kaum seperti ini sebagai homeless people. 

Tapi, benarkah itu?

Pertanyaan ini menggantung di benak gw berhari-hari, berminggu-minggu, hingga akhirnya gw punya jawaban yang tepat untuk itu.

Jawabannya adalah : orang-orang bule itu salah. There's no such people in this world is a homeless people. Ga ada itu!

Kok bisa?

Ya, jawaban itu terjawab beberapa hari yang lalu. Saat itu, orang yang sangat gw sayangi, yang selalu ada di dekat gw setiap hari - harus dirawat di Rumah Sakit.

Hari-hari yang biasa gw lalui dengan tawa, atau bahkan dengan omelan-omelan khas-nya; tiba-tiba serasa sangat sunyi. Ga ada lagi.

Pulang ke rumah, yang tadinya menjadi hal yang gw tunggu-tunggu saat gw kerja - serasa ga ada artinya lagi. Bahkan, gw menjadi sangat asing di rumah gw sendiri. 

Terasa sunyi, terasa sepi, terasa seperti ada yang hilang.  Kalo udah gini, I don't feel like coming home after all.

Tapi rasa seperti ini berangsur-angsur sirna saat gw datang ke rumah sakit. Bercakap-cakap, bercanda, dan melihat wajah cantiknya yang saat itu nampak begitu kuyu -  seakan menghilangkan jutaan letih yang hinggap di tubuh gw.

I was in the hospital, but it certainly feels like i'm coming home.

Dan saat itulah gw punya jawaban atas pertanyaan yang selalu menggantung itu tadi.

Bahwa : bule-bule itu keliru, bule-bule itu ngaco; ga ada itu yang disebut homeless-people. Karena, they might not have a house, but they will always have a home.

Dan itu tidak selalu berarti rumah dengan dinding yang kukuh; dengan perabotan bernilai jutaan rupiah; dengan pendingin ruangan yang selalu menyala.

Itu semua cukup digantikan dengan sebuah hati.

Ya, the heart of someone who always loves us - is really a home for us.

Dan pada hati seseorang yang mencintai kitalah - yang selalu gw tuju saat pulang kerja setiap hari. Dan hati itu pulalah yang selalu menjadi "rumah" bagi mereka yang gw lihat sabtu sore itu.

Bukankah senyum yang selalu terkembang - dari orang yang kita cintai - jauh lebih indah, dan lebih berharga dari apapun di dunia ini?

Hmm, can't wait to come home today.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Hey, Bro...

Cerita ini bikin aku nangis. Rumah memang terasa sangat kosong yaa..

And remember how we always said:
"Kita jadi berasa pulang ke apartment?"
hahaha..... benar-benar males pulang ke rumah kita yang berantakan itu ya... :D

(oh ya, you have no idea how thrilled I was ketika kamu memutuskan untuk pulang dari luar pulau saat itu....) :)

Anonim mengatakan...

wah jd melow mas..

Anonim mengatakan...

Hmmm... now that I find out the mellow side of Aji, I can forget the lunatic side then...

Touching...

little_star mengatakan...

Kaget juga ada update-an disini setelah sekiaaaaaaaaaaannnn lama :p

Aku juga baru balik dari 'rumah' kemaren :D

Diberdayakan oleh Blogger.